Minggu, 09 Januari 2011

Kapal Yang Karam

Sudah melewati tengah malam. Sudah tidak ada orang lain terbangun di komplek kost. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Tapi aku berhenti... bukan karena lelah, tapi penat. Sejenak aku merasa sangat sendiri, di kamar ukuran 3 x 3 meter yang semakin sempit ini. Aku, perempuan, anak manja, sendiri di tempat ini, di tempat yang tak jauh dari rumah ku sendiri, di tempat yang tak jauh dari rumah nenek dan saudaraku.

Hidup memang pilihan. mungkin aku memang terlahir dengan membawa kecenderungan untuk hidup soliter, bahkan dari keluargaku sendiri. Dan akhirnya pilihan membawaku ke tempat ini, bertemu orang yang tak kukenali, yang bukan kerabatku, yang bukan siapa-siapa dalam hidupku. Atau mungkin juga karena jiwaku tak pernah tentram hidup di tengah ketiadaan makna keluarga. Sehingga aku menyelamatkan diri dari kapal yang berlayar tanpa arah, yang rusak dan akan menenggelamkanku jika aku masih ada di dalamnya, dan akhirnya terdampar di tempat ini untuk memulai kehidupan baru, dan berhenti berlayar ataupun menjadi anak buah kapal. Meski terdampar, setidaknya aku tidak tenggelam dan karam bersama kapal.

Satu, dua, tiga, dan seterusnya, aku mulai mencoba menghitung dan mengingat kembali alasan apa yang membuatku berada di sini, saat ini, dengan sepi yang tiba-tiba menyerang dan membuatku rindu belaian tangan ibu pada keningku di saat akan tidur.

Aku menemukan berbagai alasan dan sebab yang semuanya bersumber pada ambisi mengejar cita-cita bersama rasa marah pada nahkoda yang menenggelamkan kapalku.

Aku hanya ingin semua orang tahu, aku bukan perempuan yang hanya akan tinggal diam ketika disakiti. Aku bukan perempuan lemah yang mampu ditekan dan dipaksa menjalani penderitaan dalam kapal laut sesat yang terombang ambing karena kebodohan nahkodanya. Aku bukan perempuan tak berdaya yang hanya bisa menjadi korban ketidakadilan oleh ulah laki-laki bejad yang merasa terhormat menyandang label seorang ayah.

Aku, lebih baik sendiri, terdampar, asing, dan kesepian. Daripada aku menderita dan terombang ambing di samudra.

Aku, ibuku, kami menyelamatkan diri dari penderitaan. Terdampar di tempat berbeda. Harusnya sudah bahagia jika saja si nahkoda bodoh itu sudah melepaskan tali kekang dari kapal yang sudah karam itu, jika saja si nahkoda bodoh itu menyadari kebodohannya, dan memecat dirinya sendiri sebangai nahkoda dan membiarkan kami bebas, melayarkan kapal lain tanpa kehadirannya yang selalu mengusik kebahagiaan kami.

Aku masih belum mengantuk...padahal tak ada satupun pekerjaan yang aku selesaikan hari ini. Aku ingin saat ini puas mengutuk kapalku yang karam.

Fitriani
6 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar